A. Pendahuluan
Dewasa ini,
perkembangan dunia bisnis yang semakin terintegrasi, kompetitif dan masif
mendorong semua perusahaan untuk lebih memiliki daya saing dalam semua bidang,
tidak hanya terbatas pada bidang keuangan saja. Oleh karena itu, setiap aspek dari
perusahaan harus dievaluasi kinerjanya dan selalu dikembangkan agar terus survive menghadapi dinamika dunia
bisnis. Sebelumnya, representasi dari keberhasilan suatu perusahaan hanya
banyak ditunjukkan melalui unsur-unsur laporan keuangan, misalnya laba bersih
tahunan, rasio-rasio keuangan dan ukuran efisiensi pengelolaan sumber daya
lainnya melalui analisa angka laporan keuangan. Metode tersebut merupakan cara
untuk menilai kinerja hanya berdasarkan financial
perspective. Kondisi lingkungan bisnis yang sudah sedemikian berkembang
menghasilkan tantangan baru, dimana sistem pengukuran kinerja berdasarkan financial performance sudah tidak cukup
memadai bagi kebutuhan seluruh stakeholders
perusahaan dan kurang informatif sebagai dasar pengambilan keputusan strategic di bidang lainnya, khususnya
non-keuangan. Di sisi lain, terdapat banyak argumentasi yang kontradiktif atas usefulness informasi atau laporan
keuangan, dimana perlakuan dan kebijakan akuntansi yang berbeda dapat
menghasilkan gambaran yang tidak riil atas kondisi perusahaan, misalnya
kebijakan penilaian persediaan, kebijakan penyusutan aset tetap, penggunaan
nilai pasar, kondisi eksternal seperti nilai tukar kurs mata uang fungsional
dan lainnya.
Fenomena ini menjadi
tantangan bagi para praktisi dan juga akademisi untuk mengembangkan sekaligus
mentransformasikan ukuran kinerja yang lebih komprehensif dan terintegrasi
antar beberapa ruang lingkup dalam perusahaan. Pendekatan ini juga harus dapat dijadikan
basis keputusan jangka pendek dan jangka panjang serta mampu mengevaluasi
kinerja dari sisi internal ataupun eksternal perusahaan, meliputi keuangan dan
non-keuangan sehingga kualitas keputusan yang dihasilkan dapat mengakomodasi
seluruh fungsi organisasional ke dalam satu visi perusahaan. Landasan pemikiran
ini hampir sejalan dengan konsep sustainability
yang banyak diinisiasi oleh perusahaan global dan seiring perkembangannya,
pelaporan ini akan ditetapkan secara mandatory
pada beberapa tahun mendatang menggunakan kerangka dan indikator yang
dikeluarkan oleh GRI (Global Reporting
Initiative), dimana dalam pelaporannya, perusahaan juga harus
mempertimbangkan dampak operasinya terhadap bidang sosial dan lingkungan serta
menghasilkan informasi kuantitatif dan kualitatif. Intinya adalah perlu adanya
pendekatan pengukuran kinerja yang hasilnya dapat menunjang sustainabilitas
perusahaan.
Sehubungan dengan hal
tersebut, Robert Kaplan memperkenalkan suatu tools yang bernama Balanced
Scorecard (BSC). BSC menggabungkan pengukuran kinerja dari sisi finansial,
operasional dan pelanggan. Menurut Oemar (2010), agar penggunaaan BSC sebagai
pengukur kinerja menjadi efektif, perlu dipertimbangkan Perspektif Keuangan (Financial Perspective), Perspektif
Pelanggan (Customer Perspective),
Perspektif Proses Bisnis Internal (Internal
Process Perspective) dan Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan (Learning and Growth Perspective). Alat
ukur ini tentunya akan juga membawa strategi yang diterapkan untuk mencapai
posisi ideal ukuran yang bersangkutan.
Di samping itu, BSC
juga dinilai lebih mewakili visi-misi perusahaan secara keseluruhan dan
menjawab kebutuhan semua pemangku kepentingan karena orientasinya lebih kepada
penyatuan penilaian kinerja dalam suatu paket laporan manajemen dan
optimalisasi nilai-nilai perusahaan. Dalam bidang pendidikan sendiri, sudah
banyak studi yang meneliti dampak penerapan BSC dalam perusahaan. Dalam praktik
pun, BSC sudah berkembang bukan hanya pada tahap implementasi saja, tetapi juga
pada tahap perencanaan strategic
(Johannes, 2009). Fungsi BSC di tahap
implementasi adalah sebagai alat ukur kinerja secara komprehensif kepada
eksekutif dan memberikan umpan balik tentang kinerja manajemen, sedangkan pada
tahap strategic berfungsi sebagai
strategi inti dari perusahaan atau yang lebih sering disebut sebagai strategic management system yang
terpusat kepada visi dan misi organisasi serta memfokuskan kepada pencapaian
empat perspektif BSC.
Seiring dengan perkembangan BSC terbaru, maka strategi BSC tersebut sudah diterapkan untuk mengukur dan mendukung praktik berkelanjutan dalam suatu perusahaan, karena itu konsepnya dinamakan sebagai Sustainability Balanced Scorecard. Hal ini berarti tidak hanya keuangan saja yang menjadi fokus strategi inti BSC dari suatu organisasi, tetapi juga memadukan tujuan sosial dan lingkungan (sama seperti konsep GRI sebelumnya, namun pengukuran dan strateginya melalui pendekatan BSC), atau dengan kata lain, mengintegrasikan BSC-keberlanjutan.
B. Pembahasan
A.
DEFINISI
BALANCED SCORECARD
Balanced
Scorecard terdiri dari dua kata, yaitu balanced dan scorecard.
Scorecard artinya kartu skor, maksudnya adalah kartu skor yang akan
digunakan untuk merencanakan skor yang diwujudkan di masa yang akan datang,
sedangkan balanced artinya berimbang, maksudnya adalah untuk mengukur
kinerja seseorang diukur secara berimbang dari dua perspektif, yaitu keuangan
dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan ekstern.
Menurut Kaplan dan Norton (1996) dalam Sony Yuwono et.al.
(2004), balanced scorecard merupakan:
…a set of
measures that gives top managers a fast but comprehensive view of the business,
includes financial measures that tell the result of action already taken,
complements the financial measures with operational measures on customer
satisfaction, internal process, and the organizations innovation and
improvement activities-operational measures that are the drivers of future
financial performance.
B. KEUNGGULAN BALANCE SCORECARD
Dibandingkan dengan pengukuran kinerja
tradisional yang hanya mengukur kinerja berdasarkan perspektif keuangan, maka
balanced scorecard memiliki beberapa keunggulan (Barbara Gunawan, 2000):
1. Komprehensif
Balanced scorecard menekankan pengukuran kinerja
tidak hanya aspek kuantitatif saja, tetapi juga aspek kualitatif. Aspek
finansial dilengkapi dengan aspek customer, inovasi dan market development
merupakan fokus pengukuran integral. Keempat perspektif menyediakan
keseimbangan antara pengukuran eksternal seperti laba pada ukuran internal
seperti pengembangan produk baru. Keseimbangan ini menunjukkan trade off yang
dilakukan oleh manajer terhadap ukuran-ukuran tersebut untuk mendorong manajer
untuk mencapai tujuan tanpa membuat trade off di antara kunci-kunci sukses
tersebut melalui empat perspektif. Balanced scorecard mampu
memandang berbagai faktor lingkungan secara menyeluruh.
2. Adaptif dan Responsif terhadap Perubahan Lingkungan Bisnis
Pengukuran aspek keuangan tradisional melaporkan kejadian masa lalu tanpa
menunjukkan cara meningkatkan kinerja di masa depan. Aspek customer, inovasi
dan pengembangan, learning memberikan pedoman terhadap customer yang selalu
berubah preferensinya.
3. Fokus terhadap tujuan perusahaan
Adapun tujuan dan sasaran yang ingin
dicapai pada setiap perspektif adalah (Barbara Gunawan, 2000):
1.
Perspektif Keuangan
Terwujudnya tanggung jawab ekonomi melalui penerapan pengetahuan manajemen
dalam pengolahan bisnis dan peningkatan produktivitas yang dikuasai personil.
2. Perspektif Customer
Terwujudnya tanggung jawab sosial sehingga perusahaan dikenal secara luas
sebagai perusahaan yang akrab dengan lingkungan.
3.
Perspektif Proses Bisnis Internal
Terwujudnya pelipatgandaan kinerja seluruh personil perusahaan melalui
implementasi.
4.
Perspektif Pembelajaran dan
Pertumbuhan
Terwujudnya keunggulan jangka penjang perusahaan lingkungan bisnis global
melalui pengembangan dan pemfokusan potensi sumber daya manusia.
C.
KELEMAHAN
BALANCED SCORECARD
Masalah-masalah
berikut ini dapat mengurangi manfaat dari balanced
scorecard. Masalah-masalah tersebut adalah:
- Kurangnya
hubungan antara ukuran dan hasil non keuangan
- Fixation on Financial Result
- tidak
adanya mekanisme perbaikan
- Ukuran-ukurannya
tidak diperbarui
- Pengukuran
terlalu berlebihan
- Kesulitan
dalam menentukan strategi
D. PERSPEKTIF BALANCED SCORECARD
Penerapan Balanced Scorecard oleh perusahaan
memiliki nilai tambah bagi perkembangan perusahaan karena perusahaan akan mendapatkan
sistem perencanaaan strategi yang sesuai dengan karakteristik perusahaan.
Rencana strategi tersebut memiliki kelebihan (Mulyadi, 2001:18):
1. Komprehensif
Balanced
Scorecard memperluas perspektif yang dicakup dalam perencanaan strategik,
yaitu dari yang sebelumnya hanya terbatas pada perspektif keuangan, meluas
ketiga perspektif yang lain seperti pelanggan, proses, serta pembelajaran dan
pertumbuhan. Perluasan perspektif rencana strategik ke perspektif non keuangan
tersebut menghasilkan manfaat, yaitu menjanjikan kinerja keuangan yang berlipat
ganda dan berkesinambungan serta memampukan organisasi untuk memasuki
lingkungan bisnis yang kompleks.
2. Koheren
Balanced
Scorecard mewajibkan personel untuk membangun hubungan sebab-akibat (causal
relationship) di antara berbagai sasaran strategik yang dihasilkan dalam
perencanaan strategik. Setiap sasaran strategik yang ditetapkan dalam
perspektif non keuangan harus mempunyai hubungan kausal dengan sasaran
keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
3. Berimbang
Keseimbangan
sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik penting
untuk menghasilkan kinerja keuangan berkesinambungan.
4. Terukur
Keterukuran
sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik menjanjikan
ketercapaian berbagai sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Balanced
Scorecard mengukur sasaran-sasaran strategik yang sulit untuk diukur.
Keseimbangan
sasaran-sasaran strategi dalam Balanced Scorecard digambarkan dalam
gambar berikut ini:
Tolok ukur terhadap empat
perspektif pada Balanced Scorecard
digambarkan oleh Kaplan dan Norton (1996) sebagai berikut:
1.
Perspektif Keuangan
(finansial)
Perspektif keuangan tetap
menjadi perhatian dalam balanced scorecard karena ukuran keuangan merupakan
ikhtisar dari konsekuensi ekonomi yang terjadi akibat keputusan dan tindakan
ekonomi yang diambil. Tujuan pencapaian kinerja keuangan yang baik merupakan
fokus dari tujuan-tujuan yang ada dalam tiga perspektif lainnya.
Sasaran-sasaran perspektif keuangan dibedakan pada masing-masing tahap dalam
siklus bisnis yang oleh Kaplan dan Norton dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu
growth, sustain stage, and harvest.
a.
Tahap berkembang (Growth)
Berkembang merupakan tahap
pertama dan tahap awal dari siklus kehidupan bisnis. Pada tahap ini suatu
perusahaan memiliki tingkat pertumbuhan yang sama sekali atau paling tidak
memiliki potensi untuk berkembang. Untuk menciptakan potensi ini, kemungkinan seorang
manajer harus terikat komitmen untuk mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan mengembangkan fasilitas
produksi, menambah kemampuan operasi, mengembangkan sistem, infrastruktur dan
jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global, serta mengasuh
dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan.
Perusahaan dalam tahap
pertumbuhan mungkin secara aktual beroperasi dengan cash flow negatif dan
tingkat pengembalian atas modal yang rendah. Investasi yang ditanam untuk
kepentingan masa depan sangat memungkinkan memakai biaya yang lebih besar
dibandingkan dengan jumlah dana yang mampu dihasilkan dari basis operasi yang
ada sekarang, dengan produk dan jasa dan konsumen yang masih terbatas. Sasaran
keuangan untuk growth stage
menekankan pada pertumbuhan penjualan di dalam pasar baru dari konsumen baru
dan atau dari produk dan jasa baru.
b.
Tahap bertahan (Sustain Stage)
Bertahan merupakan tahap kedua
yaitu suatu tahap dimana perusahaan masih melakukan investasi dan reinvestasi
dengan mempersyaratkan tingkat pengembalian yang terbaik. Dalam tahap ini
perusahaan berusaha mempertahankan pangsa pasar yang ada dan mengembangkannya
apabila mungkin. Investasi yang dilakukan umumnya diarahkan untuk menghilangkan kemacetan, mengembangkan
kapasitas dan meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten.
Pada tahap ini perusahaan
tidak lagi bertumpu pada strategi-strategi jangka panjang. Sasaran keuangan
tahap ini lebih diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi
yang dilakukan.
c.
Tahap panen (Harvest)
Tahap ini merupakan tahap
kematangan (mature), suatu tahap
dimana perusahaan melakukan panen (harvest)
terhadap investasi mereka. Perusahaan tidak lagi melakukan investasi
lebih jauh kecuali hanya untuk memelihara dan memperbaiki fasilitas, tidak
untuk melakukan ekspansi atau membangun suatu kemampuan baru. Tujuan utama
dalam tahap ini adalah memaksimumkan arus kas yang masuk ke perusahaan. Sasaran
keuangan untuk harvest adalah cash flow
maksimum yang mampu dikembalikan dari investasi dimasa lalu.
2. Perspektif
Pelanggan
Dalam perspektif pelanggan,
selain keinginan untuk memuaskan dan menyenangkan pelanggan, para manajer unit
bisnis juga harus menerjemahkan pernyataan misi dan strategi ke dalam tujuan
yang disesuaikan dengan pasar dan pelanggan yang spesifik. Kelompok ukuran pelanggan utama pada umumnya sama untuk
semua jenis perusahaan. Jika suatu unit
bisnis ingin mencapai kinerja keuangan yang superior dalam jangka panjang,
mereka harus menciptakan dan menyajikan suatu produk atau jasa yang bernilai
dari biaya perolehannya. Suatu produk akan semakin bernilai apabila kinerjanya
semakin mendekati atau bahkan melebihi dari apa yang diharapkan dan persepsikan
konsumen (Kaplan dan Norton, 2000).
Dalam perspektif pelanggan,
banyak perusahaan yang memilih satu dari tiga ”kepatuhan” yang disebutkan oleh
Treacy dan Wiersama dalam ”The Discipline
of Market Leaders” (Reading. MA: Perseus Book, 1995):
a.
Operasional Excellence
Organization pursuing an operational
excellence discipline focus on lower price, convenience, and often ”no frills”.
Walmart provides a great representation of an operationally excellent company.
b.
Product Leadership
Product leaders push the envelope of
their firm’s products. Constantly innovating, they strive to offer simply the
best product in the market. Nike is an example of a product leader in the field
of athletic footwear.
c.
Customer Intimacy
Doing whatever it takes to provide
solutions for unique customers’ needs help define the customer intimate
company. They do not look for one-time transactions but instead focus in
long-term relationship building through their deep knowledge of customer needs.
In the retail industry Nordstrom epitomizes the customer intimate organization.
3. Perspektif Proses Bisnis Internal
Menurut Kaplan dan Norton
(1996), dalam proses bisnis internal, manajer harus bisa mengidentifikasi proses internal yang penting
dimana perusahaan diharuskan melakukan dengan baik karena proses internal
tersebut mempunyai nilai-nilai yang diinginkan konsumen dan dapat memberikan pengembalian yang diharapkan oleh para
pemegang saham. Bagi banyak perusahaan, menjadi efektif, efisien dan tepat
waktu dalam proses inovasi lebih penting daripada menjadi hebat dalam proses operasi sehari-hari. Tahapan dalam
proses bisnis internal meliputi:
a.
Inovasi.
Inovasi yang dilakukan dalam
perusahaan biasanya dilakukan oleh bagian riset dan pengembangan. Dalam tahap inovasi ini tolok ukur yang digunakan adalah
besarnya produk-produk baru, lama
waktu yang dibutuhkan untuk mengembangan suatu produk secara relatif jika dibandingkan
perusahaan pesaing, besarnya biaya, banyaknya produk baru yang berhasil
dikembangkan.
b.
Proses Operasi.
Tahapan ini
merupakan tahapan dimana perusahaan berupaya untuk memberikan solusi kepada
para pelanggan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Tolok ukur
yang digunakan antara lain Manufacturing Cycle Effectiveness (MCE), tingkat
kerusakan produk pra penjualan, banyaknya bahan baku terbuang percuma,
frekuensi pengerjaan ulang produk sebagai akibat terjadinya kerusakan,
banyaknya permintaan para pelanggan yang tidak dapat dipenuhi, penyimpangan
biaya produksi aktual terhadap biaya anggaran produksi serta tingkat efisiensi
per kegiatan produksi.
c. Proses Penyampaian Produk atau Jasa pada
Pelanggan (Layanan Purna Jual)
Aktivitas
penyampaian produk atau jasa pada pelanggan meliputi pengumpulan,
penyimpanan dan pendistribusian produk atau jasa serta layanan purna jual
dimana perusahaan berupaya memberikan manfaat tambahan kepada pelanggan yang
telah membeli produknya seperti layanan pemeliharaan produk, layanan perbaikan
kerusakan, layanan penggantian suku cadang, dan perbaikan pembayaran seperti
administrasi kartu kredit.
4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan.
Perspektif
keempat dalam balanced scorecard mengembangkan pengukuran dan tujuan
untuk mendorong organisasi agar berjalan dan tumbuh. Tujuan dari perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan adalah menyediakan infrastruktur untuk mendukung
pencapaian tiga perspektif sebelumnya. Perspektif keuangan, pelanggan dan
sasaran dari proses bisnis internal dapat mengungkapkan
kesenjangan antara kemampuan yang ada dari orang, sistem dan prosedur dengan
apa yang dibutuhkan untuk mencapai suatu kinerja yang handal. Untuk memperkecil
kesenjangan tersebut perusahaan harus melakukan investasi dalam bentuk reskilling
employes. Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah
(Kaplan dan Norton, 1996):
a. Karyawan.
Hal yang perlu ditinjau adalah
kepuasan karyawan dan produktivitas kerja karyawan. Untuk mengetahui tingkat
kepuasan karyawan perusahaan perlu melakukan survei secara reguler. Beberapa
elemen kepuasan karyawan adalah keterlibatan dalam pengambilan keputusan,
pengakuan, akses untuk memperoleh informasi, dorongan untuk melakukan
kreativitas dan inisiatif serta dukungan dari atasan. Produktivitas kerja merupakan hasil
dari pengaruh agregat peningkatan keahlian moral, inovasi, perbaikan proses
internal dan tingkat kepuasan konsumen. Di
dalam menilai produktivitas kerja setiap karyawan dibutuhkan pemantauan
secara terus menerus.
b. Kemampuan Sistem Informasi.
Perusahaan perlu
memiliki prosedur informasi yang mudah dipahami dan mudah dijalankan. Tolok
ukur yang sering digunakan adalah bahwa informasi yang dibutuhkan mudah didapatkan, tepat dan tidak memerlukan waktu lama untuk mendapat
informasi tersebut.
Kriteria/Ukuran
Untuk Masing-Masing Perspektif
Perspektif
|
Ukuran Generik
|
Finansial
|
Tingkat pengembalian modal dan nilai tambah ekonomis, tingkat
efisiensi usaha
|
Pelanggan
|
Kepuasan pelanggan, retensi (kemampuan
mempertahankan pelanggan lama), pangsa pasar, dan kemampuan menarik
pelanggan-pelanggan baru
|
Bisnis internal
|
Inovasi, mutu, pelayanan purna jual,
efisiensi biaya produksi dan pengenalan produk baru
|
Pembelajaran dan pertumbuhan
|
Kemampuan pekerja, kepuasan pekerja, dan
ketersediaan sistem informasi serta kinerja kelompok (team performance)
|
E. DEFINISI SUSTAINABILITY BALANCED SCORECARD (SBSC)
SBSC adalah penggunaan balanced scorecard untuk
mengukur penerapan startegi berkelanjutan di suatu organisasi. Berkelanjutan
artinya memperhatikan unsur lingkungan dan sosial selain ekonomi dalam setiap
pertimbangan bisnis yang dilakukan. Misalnya, Sustainability (kemampuan untuk
bertahan/berkelanjutan) untuk Toyota: kemampuan untuk merakit dan mengembangkan
produk dalam cara yang mengurangi penghabisan sumber daya alam seperti material
mentah, dan melakukannya dengan cara menguntungkan (profit) (KPMG, 2000). Hal ini digunakan untuk:
-
Menerjemahkan strategi-strategi
sustainability perusahaan menjadi aksi
-
Mengintegrasikan sustainabilitas
perusahaan lebih baik ke dalam sistem manajemen intinya.
Selama ini keberlanjutan secara lingkungan dan
sosial tetap terpisah dari strategi bisnis inti tradisional dan sistem manajemen
yang berdasarkan semata menuju indikator kinerja finansial. Satu alasan mengapa
begitu sulit untuk berhubungan dengan sustainabilitas perusahaan terletak pada
kelebaran konsep itu sendiri. Kurangnya definisi apa batasannya yang dimaksud
isu-isu sosial itu sendiri menjadi hambatan terbentuknya SBSC. Aspek sosial
seringkali dipandang sebagai aspek lingkungan lebih lunak karena itu lebih
sulit dihitung (Epstein, 2001).
Manajemen terlebih dahulu harus mengidentifikasi dan
menyadari peluang untuk
perbaikan
simultan di semua tiga dimensi keberlanjutan (tujuan sosial, ekologi dan
ekonomi) dalam rangka mencapai kontribusi perusahaan yang kuat untuk
keberlanjutan. SBSC menawarkan
kemungkinan untuk mengintegrasikan pengelolaan aspek lingkungan dan sosial ke
dalam kegiatan bisnis utama.
Mengintegrasikan
tiga pilar keberlanjutan dalam manajemen bisnis umum (yaitu: BSC) menawarkan
tiga keunggulan utama:
- Manajemen keberlanjutan yang ekonomis akan dipraktekkan di masa ekonomi berhasil dan tidak berhasil,
- Manajemen keberlanjutan yang juga memberikan kontribusi untuk tujuan ekonomi membantu untuk menyebarkan gagasan pembangunan berkelanjutan dalam bisnis, karena berfungsi sebagai model peran yang tepat untuk bisnis lain,
- bisnis meningkatkan kinerja berkaitan dengan semua tiga dimensi keberlanjutan secara bersamaan.
F. MENGINTEGRASIKAN KONSEP SUSTAINABILITY KE DALAM BALANCED SCORECARD
Berikut adalah metode yang dapat diterapkan dalam mengintegrasikan konsep keberlanjutan ke dalam core business perusahaan (Jane B. Butler et all, 2011):
1. Menambahkan perspektif ke-5 ke dalam Balanced Scorecard.
Menambah perspektif tambahan ke dalam BSC mungkin adalah cara termudah yang dilakukan perusahaan bila ingin menekankan keberlanjutan/sustainability sebagai kunci nilai perusahaan atau strategi yang kritikal. Perspektif keberlanjutan terdiri atas indicator kinerja sosial dan lingkungan yang berkaitan dengan keempat perspektif BSC dan menyoroti pentingnya tanggung jawab sosial, lingkungan dan ekonomi sebagai tujuan perusahaan.
2. Mengembangkan pelaporan balanced scorecard secara terpisah (jadi muncul 2 pelaporan, ada Balanced Scorecard/BSC dan Sustainability Balanced Scorecard/SBSC).
Pendekatan yang ke-2 ini ingin menggabungkan pengukuran sustainability ke dalam BSC yang didesain dan diimplementasikan secara terpisah dalam sebuah laporan Sustainability Balanced Scorecard. Pendekatan ini mudah diterapkan pada banyak perusahaan, seperti perusahaan yang sebelumnya belum menerapkan BSC tetapi ingin mengukur atau mengintegrasikan sustainability tanpa gangguan atau pembebanan biaya yang besar akibat mengadopsi BSC secara penuh. Selain itu SBSC mungkin juga cocok untuk perusahaan yang telah menjalankan BSC sebelumnya, tetapi tidak ingin mengubah/merevisi susunan orisinal dari BSC.
3. Mengintegrasikan penghitungan ke seluruh 4 perspektif balanced scorecard.
Idealnya, pengukuran sustainability/keberlanjutan ini seharusnya diterapkan pada kegiatan operasional perusahaan sehari-hari dan mengintegrasikannya ke dalam BSC tradisional, dalam pencapaian tujuan perusahaan. Integrasi sustainability ke dalam BSC mengindikasikan bahwa manajemen mengakui adanya hubungan sebab-akibat antara strategi perusahaan dan usaha keberlanjutan. Sehingga manajemen harus berusaha untuk mencapai tujuan keberlanjutan perusahaan dan mengerti bagaimana proses keberlanjutan akan memberikan pengaruh terhadap berhasil atau gagalnya kesuksesan sebuah organisasi.
Di sisi lain dalam artikel yang dikemukakan oleh Howard Rohm selaku Presiden and CEO Balanced Scorecard tahun 2000, konsep keberlanjutan/sustainability ini secara langsung dapat diterapkan ke dalam keempat perspektif balanced scorecard sebagai berikut:
1. Dari sudut pandang finansial/keuangan, sustainability berarti bertahan dalam kegiatan bisnis, dan menciptakan acceptable return bagi investor.
2. Dari sudut pandang konsumen dan pemangku kepentingan, sustainability berarti memuaskan dan menyediakan nilai dalam peningkatan jumlah keamanan dan sustainability-concious consumers.
3. Dari sudut pandang proses bisnis, sustainability berarti mengatur bahan baku, energi, dan limbah melalui cara yang eco-efficient semaksimal mungkin yang dapat diusahakan.
4. Dari sudut pandang kemampuan perusahaan (pertumbuhan dan pembelajaran), sustainability berarti mencipatakan budaya dengan nilai-nilai berkelanjutan, dimana tercermin dalam setiap pilihan yang diambil karyawan-karyawan setiap harinya.
G. PENGUKURAN SUSTAINABILITY DALAM
BALANCED SCORECARD
Dalam BSC yang tradisional, di mana keempat
perspektif hanya diukur seperti yang terdapat pada Bab 2 poin D, maka dengan
terintegrasinya proses keberlanjutan dalam balanced scorecard akan memberikan
efek yang signifikan dengan adanya pengukuran tambahan dalam kaitannya pada
kegiatan sosial dan lingkungan yang dilakukan perusahaan. Berikut adalah salah
satu contoh pengembangan pengukuran indikator dalam Sustainability Balanced
Scorecard:
Misi:
Membangun
dan menyediakan produk yang membuat kehidupan konsumen lebih mudah dan
mengurangi bahaya pada lingkungan
Visi:
Untuk memajukan industri dalam inovasi yang
berkelanjutan dan meningkatkan nilai konsumen
Setiap tujuan strategi didukung oleh satu atau lebih
pengukuran. Seperti yang terlihat dalam gambar di atas, perusahaan telah
merancang dampak siklus akibat kegiatan perusahaan, memasang target untuk
mengurangi dampak tersebut, dan mengidentifikasikan inisiatif-inisiatif untuk
mencapai hasil pengurangan dampak tersebut.
C. Kesimpulan
Untuk mengimbangi dinamika dunia bisnis dan tetap survive di dalam operasi komersialnya, maka pengukuran kinerja perusahaan dan evaluasinya tidak dapat terbatas hanya pada aspek finansial saja, namun juga harus lebih komprehensif dan berimbang. Di samping itu, strategi inti perusahaan juga tidak dapat hanya berbicara profit dari angka laporan keuangan semata saja, tetapi juga melibatkan aspek-aspek lain yang saling berhubungan satu sama lain sehingga membentuk keunggulan kompetitif dalam persaingan. Hal inilah yang mendorong terciptanya implementasi balanced scorecard dalam perusahaan dan diselaraskan dengan tujuan utama organisasi. Selain itu, perusahaan saat ini juga semakin sadar bahwa dalam membangun bisnisnya, diperlukan langkah-langkah dan mindset keberlanjutan supaya terdapat legacy yang kuat dan besar ke generasi selanjutnya, apalagi juga concern terhadap hal-hal dimensi sustainabilitas juga semakin tinggi. Oleh karena itu, basis strategi perusahaan dan pengukuran kinerjanya sudah mengarah kepada konsep sustainability balanced scorecard, yang merupakan generasi terbaru dari BSC. Hal ini juga sudah banyak diterapkan baik oleh perusahaan multinasional dan juga perusahaan lokal di Indonesia. Dengan sustainability BSC, diharapkan akan tercipta iklim operasional perusahaan yang berorientasi kesejahteraan secara menyeluruh, baik untuk perusahaan dan juga untuk lingkungan serta society dan kesejahteraan terus juga tidak hanya berarti memiliki profit tinggi, namun juga memiliki strong core business process, continued learning and growth dan juga inovasi tiada henti di setiap fungsi bisnis. Salam
D. Daftar Pustaka
Barbara Gunawan,
“Balanced Scorecard: Perspektif Baru Dalam Menilai Kinerja Organisasi.”,
Utilitas, No.10, Tahun ke-8, 2000
Halim, Abdul, Achmad Tjahjono, dan Muh. Fakhri Husein. 2009. Sistem Pengendalian Manajemen. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN
Janet B. Butler, et all. 2010. Sustainability and The Balanced Scorecard: Integrating Green Measures into Business Reporting. Management Accouting Quartely, Winter, 2011
Sapardianto. 2013. Analisis Pengukuran Kinerja Perusahaan dengan Konsep Balanced Scorecard (Studi Kasus pada PT Trustco Insan Mandiri Samarinda). eJournal Administrasi Bisnis, 2013, 1 (2): 94-103
Howard Rohm and Montgomery. 2000.
Link Sustainability to Corporate Strategy Using The Balanced Scorecard. Balanced
Scorecard Institute (www.balancedscorecard.org)
Professor Doug Cerf, Donald Bren.2007. Sustainability Balanced
Scorecard. Environmental
Accounting &Financial Management (ESM 284), Spring 2007
Oemar, Abrar. 2010. Balanced Scorecard
sebagai Alat Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik. Fakultas Ekonomi
Universitas Pandanaran
Johannes. 2009. Balanced Scorecard Konsep dan Implementasi: sebagai Strategi Perusahaan.
----- sekian -----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar