Senin, 21 Desember 2015

Perbedaan Revaluasi Aset Tetap Menurut Akuntansi dan Perpajakan

A. Pendahuluan

          Menyambung artikel tentang kajian PMK Nomor 191/PMK.010/2015 yang tertuang dalam Kajian PMK No 169 dan 191 Tahun 2015, maka artikel ini akan memaparkan perbedaan revaluasi aset tetap berdasarkan peraturan perpajakan, dalam hal ini PMK No 191 dan peraturan akuntansi, dalam hal ini PSAK No 16 dan 25. Ruang lingkup pembahasan difokuskan bukan kepada teorinya, karena pasal-pasal atau aturan spesifik dari peraturan ini dapat dipelajari langsung dalam PMK/ PSAK terkait. Fokusnya lebih kepada aplikasi dan point-point penting perbedaan sampai kepada dampaknya masing-masing terhadap pelaporan perpajakan dan akuntansi. Sampai penghujung tahun 2015 ini, perbedaan ini juga banyak diperdebatkan oleh banyak pihak terkait pengakuan, pengukuran dan penyajian revaluasi di laporan keuangan dan laporan perpajakan.

          Meninjau perkembangan saat ini, tidak ada adjustment resmi terhadap kedua aturan ini sehingga perlakuan revaluasi aset tetap menurut perpajakan dan komersial pasti tetap mengandung beberapa perbedaan yang substansial. Di satu sisi, PMK No 191 mengakomodasi target penerimaan pajak tahun 2015 dan untuk lebih mendorong roda perekonomian nasional secara masif, sedangkan di sisi lain, PSAK 16 memberikan pilihan measurement model after recognition (pengukuran setelah pengakuan), dimana salah satunya adalah model revaluasi dengan latar belakang untuk memberikan informasi pelaporan keuangan yang lebih relevan dan useful bagi decision-making. Artinya, sudah terdapat 2 (dua) aturan yang berbeda dengan latar belakang yang berbeda pula. PMK No 191 merupakan pengembangan dari PMK Nomor 79/PMK.03/2008 dan dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, sedangkan PSAK 16 adalah standar akuntansi keuangan resmi di Indonesia yang menggunakan IAS 16 - Property, Plant and Equipment sebagai acuan utama dan dikeluarkan oleh DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) Ikatan Akuntan Indonesia.

B. Pembahasan

          Dari 2 (dua) standar tersebut, paling tidak terdapat 8 (delapan) perbedaan signifikan sebagai berikut:


          Mulai dari perbedaan No. 1, revaluasi perpajakan mengizinkan revaluasi secara cherry picking, sedangkan komersial melarang revaluasi secara selektif. Secara komersial, revaluasi harus dilakukan minimal 'per kelompok aset. Definisi kelompok aset adalah aset yang memiliki nature dan kegunaan yang serupa, misalnya tanah, peralatan pabrik, kendaraan dan seterusnya. Misalnya terdapat 8 tanah dalam klasifikasi aset tanah dalam sebuah perusahaan, maka secara fiskal, diizinkan hanya merevaluasi 3 tanah saja, sedangkan komersial harus seluruhnya. Apakah kedua hal ini harus disamakan? Tidak perlu dan tidak bisa. Jadi, kesimpulannya aset apa saja yang akan direvaluasi dapat berbeda sehingga menimbulkan nilai aset dan depresiasi yang berbeda juga antara fiskal dan komersial.

          Perbedaan No. 2, secara fiskal mengharuskan periode revaluasi ulang, yaitu 5 tahunan, sedangkan komersial lebih diserahkan kepada judgement terkait materialitas. Jika hasil nilai wajar berbeda secara material, maka baru direvaluasi ulang, jika tidak, maka tidak perlu. Berapa tingkat materialitasnya? Lihat definisi materialitas saja di PSAK No. 1 dan tentukan secara internal. Namun, jika anda bekerja di multinational company atau publicly listed entities, maka coba cari tahu matriks materialitas atau guidance materialitas lain. Tentunya, hal ini akan berbeda-beda di setiap perusahaan dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Jadi, sekali lagi nilai revaluasi di suatu tahun dapat berbeda antara komersial dan fiskal yang juga berdampak kepada pengukuran nilai aset tetap dan depresiasinya.

           Perbedaan No. 3 cukup jelas menurut tabel di atas. Langsung kepada perbedaan No. 4, maka setelah direvaluasi, masa manfaat menurut fiskal akan kembali lagi ke mas manfaat penuh sesuai dengan kelompok aset tetapnya (sesuai dengan Kelompok Aset Tetap - Perpajakan), sedangkan akuntansi berlaku prospektif, jadi didepresiasi berdasarkan sisa umur manfaatnya saja. Jadi, akan ada perbedaan nilai depresiasi 'per bulan dan 'per tahun serta akan menghasilkan konsekuensi pajak tangguhan (deferred tax).

          Perbedaan No. 5 dan 6 juga cukup jelas menurut tabel di atas. Namun khusus untuk No. 6 memang terlihat ketentuan fiskal agak out-scope, dimana sudah mengatur tentang nama akun penyajian laporan keuangan, padahal surplus ini dalam neraca komersial. Selain itu, pengaturannya harus memasukkan term "aktiva", padahal menurut komersial sudah konsisten menggunakan term sesuai IFRS, yaitu "aset". Pertanyaan yang mungkin timbul adalah apakah tidak ada yang dinamakan neraca fiskal? Hal ini pernah saya singgung secara singkat di Kajian PMK No. 169 dan 191 Tahun 2015, jadi memang objek pengenaan pajak pada umumnya untuk perusahaan berada pada komponen laporan laba-rugi, namun dalam kasus rekonsiliasi fiskal, terdapat metode balance sheet approach untuk menilai perbedaan temporer antara komersial dan fiskal (diatur dalam PSAK No. 46) sehingga ada juga yang dinamakan neraca fiskal. Namun, tentu neraca ini tidak dilaporkan secara resmi dimanapun karena dari sisi perpajakan sendiri juga kita selalu melaporkan neraca versi komersial. Dan tentu juga kita tidak dapat memaksakan agar neraca fiskal ini "balance" karena angkanya tidak selalu terbentuk atas jurnal akuntansi yang normal, apalagi laba-rugi fiskal juga sudah merupakan hasil koreksi sesuai ketentuan perpajakan. Mengenai perbedaan No. 7 tentang defisit revaluasi juga sudah cukup jelas.

            Perbedaan yang sangat menarik adalah point No. 8 tentang kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aset tetap (surplus revaluasi) menjadi saham bonus. Secara sederhana, saham bonus dapat diartikan sebagai tambahan pencatatan atas modal tanpa penyetoran baru. Hal ini merupakan objek pajak menurut UU PPh No. 36 tahun 2008 pasal 4, namun tarifnya berbeda-beda tergantung penerima saham bonus tersebut, dimana untuk OP dikenakan PPh 4(2) final sebesar 10% dan untuk Badan dikenakan PPh 23 sebesar 15% (dengan catatan berlaku untuk WP dalam negeri, hal ini juga sedikit dibahas dalam Kajian PMK No. 169 dan 191 tahun 2015). Khusus untuk PMK ini, kapitalisasi yang berasal dari surplus tersebut dianggap bukan sebagai objek pajak, jadi pengenaan PPh nya dibebaskan. Tentu jika kita berbicara surplus revaluasi, exposure 10% atau 15% bisa jadi sangat besar sehingga insentif ini sangat "menggiurkan".

          Setelah dibahas 'per point perbedaan di atas, masalah real akan dihadapi oleh perusahaan akibat perbedaan substansial tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

  • Depreciable amount antara komersial dan fiskal berbeda, jika secara fiskal tidak direvaluasi, namun secara komersial direvaluasi. Hal ini akan menimbulkan beda tetap (permanent difference) dalam rekonsiliasi fiskal dan perusahaan harus maintain sistem pencatatan aset terpisah menjadi 2 (dua)
  • Estimasi masa manfaat antara komersial dan fiskal berbeda. Hal ini akan menimbulkan beda waktu (temporary difference) dalam rekonsiliasi fiskal dengan catatan tidak ada perbedaan depreciable amount. Dengan kata lain, ada unsur pajak tangguhan
  • Klasifikasi komponen ekuitas akan berbeda, dimana komersial mengakui dan menyesuaikan OCI secara kontinyu, sedangkan fiskal dapat diklasifikasikan sebagai saham bonus. Dampaknya, jika dinotarikan secara legal, maka posisi ekuitas komersial akan berbeda dengan dokumentasi legal dan berujung kepada ketidaksesuaian dengan standar akuntansi
  • Tidak semua aset yang direvaluasi secara fiskal akan dipertahankan perusahaan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun ke depan dengan mempertimbangkan dinamika dunia bisnis dan strategic action plan masing-masing perusahaan. Namun, jika dijual akan dikenakan tambahan PPh final dengan tarif PPh tertinggi, yaitu 25% untuk Badan dan 30% untuk OP
          Solusi yang dapat dikembangkan atau alternatif yang dapat dipertimbangkan terhadap masalah di atas adalah:
  • Pertimbangkan untuk menyusutkan minimal 'per kelompok aset agar tidak ada perbedaan jenis aset yang direvaluasi antara komersial dan fiskal. Jangan semata-mata memilih semua aset spesifik yang kira-kira memiliki hasil surplus. Jika memang terjadi defisit revaluasi, namun masih tolerable, maka lebih baik tetap direvaluasi semua aset dalam kelompok terkait untuk menghilangkan risiko point 1 di atas
  • Review estimasi masa manfaat secara akuntansi. Hal ini merupakan bagian dari estimasi akuntansi yang diatur dalam PSAK No. 25 (2009). Jika memungkinkan, maka estimasi masa manfaat akan sama dengan masa manfaat awal fiskal sehingga tidak ada perbedaan penyusutan setiap bulan dan tahunnya. Misalkan suatu aset memiliki masa manfaat awal 8 tahun dan sudah disusutkan selama 3 tahun, baik secara komersial maupun fiskal. Setelah itu, aset direvaluasi, maka secara fiskal akan kembali menjadi 8 tahun, sedangkan akuntansi karena berlaku prospektif, maka akan disusutkan selama 5 tahun saja. Saat itu, direview apakah masa manfaat yang tepat masih tersisa 8 tahun lagi sehingga secara akuntansi seharusnya dari awal ditetapkan 11 tahun (3 tahun yang sudah disusutkan + 5 tahun sisa umur + 3 tahun estimasi tambahan baru). Jika berhasil, maka akan menghilangkan risiko point 2 di atas
  • Tidak ada "jembatan tengah" untuk risiko point 3. Satu-satunya cara adalah jangan sampai dikapitalisasi menjadi saham bonus, apalagi dinotarikan secara legal karena hal ini malah akan menimbulkan ketidaksesuaian signifikan dengan standar akuntansi dan dapat menimbulkan risiko salah saji material. Jadi, perusahaan "stop" pada optimalisasi manfaat penambahan ekuitas saja yang akan berdampak pada membaiknya DER dan insentif tarif pajak atas revaluasi, jangan dilanjutkan ke saham bonus
  • Perusahaan harus mengkaji apakah terdapat aset yang memenuhi PSAK 58 (lihat slide di PSAK 58 - Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual). Jika memenuhi, maka lakukan reklasifikasi aset terkait ke dalam current assets, bukan sebagai aset tetap lagi karena manfaat ekonominya akan dipulihkan melalui penjualan dibandingkan pemakaian berlanjut, artinya sudah tidak memenuhi ketentuan aset tetap dan tidak perlu direvaluasi secara komersial dan fiskal sehingga menghilangkan risiko point 4 di atas
          Berikut akan disajikan perlakuan akuntansi dalam bentuk ilustrasi kasus, termasuk dengan journal entriesnya. Untuk fiskal, tinggal pembaca sesuaikan dengan perbedaan-perbedaan di atas. Ilustrasi ini juga tidak melanjutkan dampaknya sampai ke pajak tangguhan karena hal tersebut akan dibahas pada tulisan saya yang lain.

















































C.Kesimpulan

          Jadi, cara mengutilisasi advantage dari PMK No. 191 adalah dengan melakukan revaluasi secara perpajakan dan mengkapitalisasikan hasil surplus revaluasinya menjadi saham bonus. Hal ini akan "menghemat" pajak, pertama sebesar 7% (asumsi perusahaan mengajukan permohonan s.d tanggal 31 Desember 2015 dan dikenakan tarif 3%), lalu mendapatkan ekuitas untuk memperbaiki DER, kemudian mendapatkan tambahan saham tanpa penyetoran kembali yang seharusnya dikenakan pajak minimal 10%. Selain itu, surplus tersebut juga adalah komponen OCI menurut komersial sehingga tidak termasuk dalam perhitungan laba tahun yang bersangkutan, artinya tidak ada exposure penambahan 25% PPh Badan atas surplus yang bersangkutan. Memang kelemahannya adalah peningkatan beban depresiasi di tahun-tahun berikutnya, tapi efeknya sama dengan "mencicil" sehingga untuk kasus ini disimpulkan benefit akan lebih besar dibandingkan future depreciation cost.
  
          Permasalahan untuk mendapatkan semua advantage di paragraf di atas timbul karena terdapat perbedaan dengan standar akuntansi yang berlaku, dalam hal ini yang terkait adalah PSAK No. 16, 25, 46 dan 58, namun yang terutama adalah PSAK No. 16 (2011) yang mengacu kepada IAS 16 - Property, Plant and Equipments. Perbedaan tersebut membuat perusahaan secara tidak langsung akan "menabrak" ketentuan komersial jika dipaksakan mendapatkan semua advantage tersebut. Jadi, tergantung keputusan strategic perusahaan ingin mengambil "jalan tengah" seperti apa. Saya sudah menyajikan paling tidak things to be considered sebagai solusi alternatif di bagian pembahasan di atas. Salam


----- sekian -----

7 komentar:

  1. terima kasih buat sharingnya ya , izin copas

    BalasHapus
  2. Pertanyaan : Apabila perusahaan memutuskan revaluasi aset diterapkan hanya untuk tujuan fiskal, sedangkan tujuan komersial tidak, apakah ada keuntungan yang akan didapat perusahaan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebetulnya semua harus melalui simulasi terlebih dahulu. Mungkin kalau kasusnya hanya fiskal, perusahaan ingin meningkatkan aset supaya depresiasi lebih tinggi secara fiskal dan artinya setiap tahun akan ada koreksi fiskal negatif yang akan menyebabkan perhitungan PPh Badan menjadi lebih kecil

      Hapus
    2. tabel diatas sumber nya dari mana ya pak?

      Hapus
  3. Saya sudah lihat contoh perusahaan yang melakuka revaluasi untuk tujuan perpajakan. Tetapi kenapa ga ada akun saham bonus ya? Hasil kenaikan revaluasinya ditaro dimana?

    Contoh lap keuangan BTON 2015

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hasil kenaikan revaluasi dicatat pada akun revaluation surplus which included as part of OCI (Other Comprehensive Income), bukan saham bonus. Saham bonus adalah penambahan saham tanpa penyetoran kembali, bukan hasil kenaikan revaluasi. Lagipula hal ini dilarang PSAK (kapitalisasi directly to share capital as saham bonus)

      Hapus
  4. Best No Deposit Casinos 2021 - Lucky Club
    The best online casinos that work with no deposit bonus codes 2020, luckyclub the best no deposit bonus codes 2019, and our top rated list of the best no deposit casinos for 2020.

    BalasHapus