Kamis, 24 Desember 2015

Tentang Konsep Sustainability Balanced Scorecard (Generasi Terbaru BSC)


A. Pendahuluan

Dewasa ini, perkembangan dunia bisnis yang semakin terintegrasi, kompetitif dan masif mendorong semua perusahaan untuk lebih memiliki daya saing dalam semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang keuangan saja. Oleh karena itu, setiap aspek dari perusahaan harus dievaluasi kinerjanya dan selalu dikembangkan agar terus survive menghadapi dinamika dunia bisnis. Sebelumnya, representasi dari keberhasilan suatu perusahaan hanya banyak ditunjukkan melalui unsur-unsur laporan keuangan, misalnya laba bersih tahunan, rasio-rasio keuangan dan ukuran efisiensi pengelolaan sumber daya lainnya melalui analisa angka laporan keuangan. Metode tersebut merupakan cara untuk menilai kinerja hanya berdasarkan financial perspective. Kondisi lingkungan bisnis yang sudah sedemikian berkembang menghasilkan tantangan baru, dimana sistem pengukuran kinerja berdasarkan financial performance sudah tidak cukup memadai bagi kebutuhan seluruh stakeholders perusahaan dan kurang informatif sebagai dasar pengambilan keputusan strategic di bidang lainnya, khususnya non-keuangan. Di sisi lain, terdapat banyak argumentasi yang kontradiktif atas usefulness informasi atau laporan keuangan, dimana perlakuan dan kebijakan akuntansi yang berbeda dapat menghasilkan gambaran yang tidak riil atas kondisi perusahaan, misalnya kebijakan penilaian persediaan, kebijakan penyusutan aset tetap, penggunaan nilai pasar, kondisi eksternal seperti nilai tukar kurs mata uang fungsional dan lainnya.

Fenomena ini menjadi tantangan bagi para praktisi dan juga akademisi untuk mengembangkan sekaligus mentransformasikan ukuran kinerja yang lebih komprehensif dan terintegrasi antar beberapa ruang lingkup dalam perusahaan. Pendekatan ini juga harus dapat dijadikan basis keputusan jangka pendek dan jangka panjang serta mampu mengevaluasi kinerja dari sisi internal ataupun eksternal perusahaan, meliputi keuangan dan non-keuangan sehingga kualitas keputusan yang dihasilkan dapat mengakomodasi seluruh fungsi organisasional ke dalam satu visi perusahaan. Landasan pemikiran ini hampir sejalan dengan konsep sustainability yang banyak diinisiasi oleh perusahaan global dan seiring perkembangannya, pelaporan ini akan ditetapkan secara mandatory pada beberapa tahun mendatang menggunakan kerangka dan indikator yang dikeluarkan oleh GRI (Global Reporting Initiative), dimana dalam pelaporannya, perusahaan juga harus mempertimbangkan dampak operasinya terhadap bidang sosial dan lingkungan serta menghasilkan informasi kuantitatif dan kualitatif. Intinya adalah perlu adanya pendekatan pengukuran kinerja yang hasilnya dapat menunjang sustainabilitas perusahaan.


Sehubungan dengan hal tersebut, Robert Kaplan memperkenalkan suatu tools yang bernama Balanced Scorecard (BSC). BSC menggabungkan pengukuran kinerja dari sisi finansial, operasional dan pelanggan. Menurut Oemar (2010), agar penggunaaan BSC sebagai pengukur kinerja menjadi efektif, perlu dipertimbangkan Perspektif Keuangan (Financial Perspective), Perspektif Pelanggan (Customer Perspective), Perspektif Proses Bisnis Internal (Internal Process Perspective) dan Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan (Learning and Growth Perspective). Alat ukur ini tentunya akan juga membawa strategi yang diterapkan untuk mencapai posisi ideal ukuran yang bersangkutan.

Di samping itu, BSC juga dinilai lebih mewakili visi-misi perusahaan secara keseluruhan dan menjawab kebutuhan semua pemangku kepentingan karena orientasinya lebih kepada penyatuan penilaian kinerja dalam suatu paket laporan manajemen dan optimalisasi nilai-nilai perusahaan. Dalam bidang pendidikan sendiri, sudah banyak studi yang meneliti dampak penerapan BSC dalam perusahaan. Dalam praktik pun, BSC sudah berkembang bukan hanya pada tahap implementasi saja, tetapi juga pada tahap perencanaan strategic (Johannes, 2009). Fungsi BSC di tahap implementasi adalah sebagai alat ukur kinerja secara komprehensif kepada eksekutif dan memberikan umpan balik tentang kinerja manajemen, sedangkan pada tahap strategic berfungsi sebagai strategi inti dari perusahaan atau yang lebih sering disebut sebagai strategic management system yang terpusat kepada visi dan misi organisasi serta memfokuskan kepada pencapaian empat perspektif BSC.

Seiring dengan perkembangan BSC terbaru, maka strategi BSC tersebut sudah diterapkan untuk mengukur dan mendukung praktik berkelanjutan dalam suatu perusahaan, karena itu konsepnya dinamakan sebagai Sustainability Balanced Scorecard. Hal ini berarti tidak hanya keuangan saja yang menjadi fokus strategi inti BSC dari suatu organisasi, tetapi juga memadukan tujuan sosial dan lingkungan (sama seperti konsep GRI sebelumnya, namun pengukuran dan strateginya melalui pendekatan BSC), atau dengan kata lain, mengintegrasikan BSC-keberlanjutan.

B. Pembahasan

A.    DEFINISI BALANCED SCORECARD

Balanced Scorecard terdiri dari dua kata, yaitu balanced dan scorecard. Scorecard artinya kartu skor, maksudnya adalah kartu skor yang akan digunakan untuk merencanakan skor yang diwujudkan di masa yang akan datang, sedangkan balanced artinya berimbang, maksudnya adalah untuk mengukur kinerja seseorang diukur secara berimbang dari dua perspektif, yaitu keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan ekstern.

Menurut Kaplan dan Norton (1996) dalam Sony Yuwono et.al. (2004), balanced scorecard merupakan:

…a set of measures that gives top managers a fast but comprehensive view of the business, includes financial measures that tell the result of action already taken, complements the financial measures with operational measures on customer satisfaction, internal process, and the organizations innovation and improvement activities-operational measures that are the drivers of future financial performance.

B.     KEUNGGULAN BALANCE SCORECARD

Dibandingkan dengan pengukuran kinerja tradisional yang hanya mengukur kinerja berdasarkan perspektif keuangan, maka balanced scorecard memiliki beberapa keunggulan (Barbara Gunawan, 2000):

1. Komprehensif
Balanced scorecard menekankan pengukuran kinerja tidak hanya aspek kuantitatif saja, tetapi juga aspek kualitatif. Aspek finansial dilengkapi dengan aspek customer, inovasi dan market development merupakan fokus pengukuran integral. Keempat perspektif menyediakan keseimbangan antara pengukuran eksternal seperti laba pada ukuran internal seperti pengembangan produk baru. Keseimbangan ini menunjukkan trade off yang dilakukan oleh manajer terhadap ukuran-ukuran tersebut untuk mendorong manajer untuk mencapai tujuan tanpa membuat trade off di antara kunci-kunci sukses tersebut melalui empat perspektif. Balanced scorecard mampu memandang berbagai faktor lingkungan secara menyeluruh.

2. Adaptif dan Responsif terhadap Perubahan Lingkungan Bisnis
Pengukuran aspek keuangan tradisional melaporkan kejadian masa lalu tanpa menunjukkan cara meningkatkan kinerja di masa depan. Aspek customer, inovasi dan pengembangan, learning memberikan pedoman terhadap customer yang selalu berubah preferensinya.

3. Fokus terhadap tujuan perusahaan
     Adapun tujuan dan sasaran yang ingin dicapai pada setiap perspektif adalah (Barbara Gunawan, 2000):
1.      Perspektif Keuangan
Terwujudnya tanggung jawab ekonomi melalui penerapan pengetahuan manajemen dalam pengolahan bisnis dan peningkatan produktivitas yang dikuasai personil.
2.      Perspektif Customer
Terwujudnya tanggung jawab sosial sehingga perusahaan dikenal secara luas sebagai perusahaan yang akrab dengan lingkungan.
3.      Perspektif Proses Bisnis Internal
Terwujudnya pelipatgandaan kinerja seluruh personil perusahaan melalui implementasi.
4.      Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Terwujudnya keunggulan jangka penjang perusahaan lingkungan bisnis global melalui pengembangan dan pemfokusan potensi sumber daya manusia.

C.    KELEMAHAN BALANCED SCORECARD

Masalah-masalah berikut ini dapat mengurangi manfaat dari balanced scorecard. Masalah-masalah tersebut adalah:
  1. Kurangnya hubungan antara ukuran dan hasil non keuangan
  2. Fixation on Financial Result
  3. tidak adanya  mekanisme perbaikan
  4. Ukuran-ukurannya tidak diperbarui
  5. Pengukuran terlalu berlebihan
  6. Kesulitan dalam menentukan strategi

D.    PERSPEKTIF BALANCED SCORECARD

Penerapan Balanced Scorecard oleh perusahaan memiliki nilai tambah bagi perkembangan perusahaan karena perusahaan akan mendapatkan sistem perencanaaan strategi yang sesuai dengan karakteristik perusahaan. Rencana strategi tersebut memiliki kelebihan (Mulyadi, 2001:18):

1.      Komprehensif
Balanced Scorecard memperluas perspektif yang dicakup dalam perencanaan strategik, yaitu dari yang sebelumnya hanya terbatas pada perspektif keuangan, meluas ketiga perspektif yang lain seperti pelanggan, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Perluasan perspektif rencana strategik ke perspektif non keuangan tersebut menghasilkan manfaat, yaitu menjanjikan kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berkesinambungan serta memampukan organisasi untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks.

2.      Koheren
Balanced Scorecard mewajibkan personel untuk membangun hubungan sebab-akibat (causal relationship) di antara berbagai sasaran strategik yang dihasilkan dalam perencanaan strategik. Setiap sasaran strategik yang ditetapkan dalam perspektif non keuangan harus mempunyai hubungan kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

3.      Berimbang
Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik penting untuk menghasilkan kinerja keuangan berkesinambungan.

4.      Terukur
Keterukuran sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik menjanjikan ketercapaian berbagai sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Balanced Scorecard mengukur sasaran-sasaran strategik yang sulit untuk diukur.

Keseimbangan sasaran-sasaran strategi dalam Balanced Scorecard digambarkan dalam gambar berikut ini:
Tolok ukur terhadap empat perspektif pada Balanced Scorecard digambarkan oleh Kaplan dan Norton (1996) sebagai berikut:

1.      Perspektif Keuangan (finansial)
Perspektif keuangan tetap menjadi perhatian dalam balanced scorecard karena ukuran keuangan merupakan ikhtisar dari konsekuensi ekonomi yang terjadi akibat keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil. Tujuan pencapaian kinerja keuangan yang baik merupakan fokus dari tujuan-tujuan yang ada dalam tiga perspektif lainnya. Sasaran-sasaran perspektif keuangan dibedakan pada masing-masing tahap dalam siklus bisnis yang oleh Kaplan dan Norton dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu growth, sustain stage, and harvest.

a.       Tahap berkembang (Growth)
Berkembang merupakan tahap pertama dan tahap awal dari siklus kehidupan bisnis. Pada tahap ini suatu perusahaan memiliki tingkat pertumbuhan yang sama sekali atau paling tidak memiliki potensi untuk berkembang. Untuk menciptakan potensi ini, kemungkinan seorang manajer harus terikat komitmen untuk mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan mengembangkan fasilitas produksi, menambah kemampuan operasi, mengembangkan sistem, infrastruktur dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global, serta mengasuh dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan.
Perusahaan dalam tahap pertumbuhan mungkin secara aktual beroperasi dengan cash flow negatif dan tingkat pengembalian atas modal yang rendah. Investasi yang ditanam untuk kepentingan masa depan sangat memungkinkan memakai biaya yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah dana yang mampu dihasilkan dari basis operasi yang ada sekarang, dengan produk dan jasa dan konsumen yang masih terbatas. Sasaran keuangan untuk growth stage menekankan pada pertumbuhan penjualan di dalam pasar baru dari konsumen baru dan atau dari produk dan jasa baru.

b.      Tahap bertahan (Sustain Stage)
Bertahan merupakan tahap kedua yaitu suatu tahap dimana perusahaan masih melakukan investasi dan reinvestasi dengan mempersyaratkan tingkat pengembalian yang terbaik. Dalam tahap ini perusahaan berusaha mempertahankan pangsa pasar yang ada dan mengembangkannya apabila mungkin. Investasi yang dilakukan umumnya diarahkan untuk menghilangkan kemacetan, mengembangkan kapasitas dan meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten.
Pada tahap ini perusahaan tidak lagi bertumpu pada strategi-strategi jangka panjang. Sasaran keuangan tahap ini lebih diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan.

c.       Tahap panen (Harvest)
Tahap ini merupakan tahap kematangan (mature), suatu tahap dimana perusahaan melakukan panen (harvest) terhadap investasi mereka. Perusahaan tidak lagi melakukan investasi lebih jauh kecuali hanya untuk memelihara dan memperbaiki fasilitas, tidak untuk melakukan ekspansi atau membangun suatu kemampuan baru. Tujuan utama dalam tahap ini adalah memaksimumkan arus kas yang masuk ke perusahaan. Sasaran keuangan untuk harvest adalah cash flow maksimum yang mampu dikembalikan dari investasi dimasa lalu.

2.  Perspektif Pelanggan
Dalam perspektif pelanggan, selain keinginan untuk memuaskan dan menyenangkan pelanggan, para manajer unit bisnis juga harus menerjemahkan pernyataan misi dan strategi ke dalam tujuan yang disesuaikan dengan pasar dan pelanggan yang spesifik.  Kelompok ukuran pelanggan utama pada umumnya sama untuk semua jenis perusahaan.  Jika suatu unit bisnis ingin mencapai kinerja keuangan yang superior dalam jangka panjang, mereka harus menciptakan dan menyajikan suatu produk atau jasa yang bernilai dari biaya perolehannya. Suatu produk akan semakin bernilai apabila kinerjanya semakin mendekati atau bahkan melebihi dari apa yang diharapkan dan persepsikan konsumen (Kaplan dan Norton, 2000).

Dalam perspektif pelanggan, banyak perusahaan yang memilih satu dari tiga ”kepatuhan” yang disebutkan oleh Treacy dan Wiersama dalam ”The Discipline of Market Leaders” (Reading. MA: Perseus Book, 1995):

a.       Operasional Excellence
Organization pursuing an operational excellence discipline focus on lower price, convenience, and often ”no frills”. Walmart provides a great representation of an operationally excellent company.
b.      Product Leadership
Product leaders push the envelope of their firm’s products. Constantly innovating, they strive to offer simply the best product in the market. Nike is an example of a product leader in the field of athletic footwear.
c.       Customer Intimacy
Doing whatever it takes to provide solutions for unique customers’ needs help define the customer intimate company. They do not look for one-time transactions but instead focus in long-term relationship building through their deep knowledge of customer needs. In the retail industry Nordstrom epitomizes the customer intimate organization.

3.  Perspektif Proses Bisnis Internal
Menurut Kaplan dan Norton (1996), dalam proses bisnis internal, manajer harus bisa mengidentifikasi proses internal yang penting dimana perusahaan diharuskan melakukan dengan baik karena proses internal tersebut mempunyai nilai-nilai yang diinginkan konsumen dan dapat memberikan pengembalian yang diharapkan oleh para pemegang saham. Bagi banyak perusahaan, menjadi efektif, efisien dan tepat waktu dalam proses inovasi lebih penting daripada menjadi hebat dalam proses operasi sehari-hari. Tahapan dalam proses bisnis internal meliputi:

a.       Inovasi.
Inovasi yang dilakukan dalam perusahaan biasanya dilakukan oleh bagian riset dan pengembangan. Dalam tahap inovasi ini tolok ukur yang digunakan adalah besarnya produk-produk baru, lama waktu yang dibutuhkan untuk mengembangan suatu produk secara relatif jika dibandingkan perusahaan pesaing, besarnya biaya, banyaknya produk baru yang berhasil dikembangkan.

b.      Proses Operasi.
Tahapan ini merupakan tahapan dimana perusahaan berupaya untuk memberikan solusi kepada para pelanggan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Tolok ukur yang digunakan antara lain Manufacturing Cycle Effectiveness (MCE), tingkat kerusakan produk pra penjualan, banyaknya bahan baku terbuang percuma, frekuensi pengerjaan ulang produk sebagai akibat terjadinya kerusakan, banyaknya permintaan para pelanggan yang tidak dapat dipenuhi, penyimpangan biaya produksi aktual terhadap biaya anggaran produksi serta tingkat efisiensi per kegiatan produksi.

c.        Proses Penyampaian Produk atau Jasa pada Pelanggan (Layanan Purna Jual)
Aktivitas penyampaian produk atau jasa pada pelanggan meliputi pengumpulan, penyimpanan dan pendistribusian produk atau jasa serta layanan purna jual dimana perusahaan berupaya memberikan manfaat tambahan kepada pelanggan yang telah membeli produknya seperti layanan pemeliharaan produk, layanan perbaikan kerusakan, layanan penggantian suku cadang, dan perbaikan pembayaran seperti administrasi kartu kredit.

4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan.
Perspektif keempat dalam balanced scorecard mengembangkan pengukuran dan tujuan untuk mendorong organisasi agar berjalan dan tumbuh. Tujuan dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah menyediakan infrastruktur untuk mendukung pencapaian tiga perspektif sebelumnya. Perspektif keuangan, pelanggan dan sasaran dari proses bisnis internal dapat mengungkapkan kesenjangan antara kemampuan yang ada dari orang, sistem dan prosedur dengan apa yang dibutuhkan untuk mencapai suatu kinerja yang handal. Untuk memperkecil kesenjangan tersebut perusahaan harus melakukan investasi dalam bentuk reskilling employes. Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah (Kaplan dan Norton, 1996):

a.       Karyawan.
Hal yang perlu ditinjau adalah kepuasan karyawan dan produktivitas kerja karyawan. Untuk mengetahui tingkat kepuasan karyawan perusahaan perlu melakukan survei secara reguler. Beberapa elemen kepuasan karyawan adalah keterlibatan dalam pengambilan keputusan, pengakuan, akses untuk memperoleh informasi, dorongan untuk melakukan kreativitas dan inisiatif serta dukungan dari atasan. Produktivitas kerja merupakan hasil dari pengaruh agregat peningkatan keahlian moral, inovasi, perbaikan proses internal dan tingkat kepuasan konsumen. Di dalam menilai produktivitas kerja setiap karyawan dibutuhkan pemantauan secara terus menerus.

b.      Kemampuan Sistem Informasi.
Perusahaan perlu memiliki prosedur informasi yang mudah dipahami dan mudah dijalankan. Tolok ukur yang sering digunakan adalah bahwa informasi yang dibutuhkan mudah didapatkan, tepat dan tidak memerlukan waktu lama untuk mendapat informasi tersebut.

Kriteria/Ukuran Untuk Masing-Masing Perspektif
Perspektif
Ukuran Generik
Finansial
Tingkat pengembalian modal dan nilai tambah ekonomis, tingkat efisiensi usaha
Pelanggan
Kepuasan pelanggan, retensi (kemampuan mempertahankan pelanggan lama), pangsa pasar, dan kemampuan menarik pelanggan-pelanggan baru
Bisnis internal
Inovasi, mutu, pelayanan purna jual, efisiensi biaya produksi dan pengenalan produk baru
Pembelajaran dan pertumbuhan
Kemampuan pekerja, kepuasan pekerja, dan ketersediaan sistem informasi serta kinerja kelompok (team performance)


E. DEFINISI SUSTAINABILITY BALANCED SCORECARD (SBSC)

SBSC adalah penggunaan balanced scorecard untuk mengukur penerapan startegi berkelanjutan di suatu organisasi. Berkelanjutan artinya memperhatikan unsur lingkungan dan sosial selain ekonomi dalam setiap pertimbangan bisnis yang dilakukan. Misalnya, Sustainability (kemampuan untuk bertahan/berkelanjutan) untuk Toyota: kemampuan untuk merakit dan mengembangkan produk dalam cara yang mengurangi penghabisan sumber daya alam seperti material mentah, dan melakukannya dengan cara menguntungkan (profit) (KPMG, 2000). Hal ini digunakan untuk:
-          Menerjemahkan strategi-strategi sustainability perusahaan menjadi aksi
-          Mengintegrasikan sustainabilitas perusahaan lebih baik ke dalam sistem manajemen intinya.
Selama ini keberlanjutan secara lingkungan dan sosial tetap terpisah dari strategi bisnis inti tradisional dan sistem manajemen yang berdasarkan semata menuju indikator kinerja finansial. Satu alasan mengapa begitu sulit untuk berhubungan dengan sustainabilitas perusahaan terletak pada kelebaran konsep itu sendiri. Kurangnya definisi apa batasannya yang dimaksud isu-isu sosial itu sendiri menjadi hambatan terbentuknya SBSC. Aspek sosial seringkali dipandang sebagai aspek lingkungan lebih lunak karena itu lebih sulit dihitung (Epstein, 2001).

Manajemen terlebih dahulu harus mengidentifikasi dan menyadari peluang untuk perbaikan simultan di semua tiga dimensi keberlanjutan (tujuan sosial, ekologi dan ekonomi) dalam rangka mencapai kontribusi perusahaan yang kuat untuk keberlanjutan. SBSC menawarkan kemungkinan untuk mengintegrasikan pengelolaan aspek lingkungan dan sosial ke dalam kegiatan bisnis utama.

Mengintegrasikan tiga pilar keberlanjutan dalam manajemen bisnis umum (yaitu: BSC) menawarkan tiga keunggulan utama:
-       Manajemen keberlanjutan yang ekonomis akan dipraktekkan di masa ekonomi berhasil dan tidak berhasil,
-       Manajemen keberlanjutan yang juga memberikan kontribusi untuk tujuan ekonomi membantu untuk menyebarkan gagasan pembangunan berkelanjutan dalam bisnis, karena berfungsi sebagai model peran yang tepat untuk bisnis lain,
-       bisnis meningkatkan kinerja berkaitan dengan semua tiga dimensi keberlanjutan secara bersamaan.
 
F.     MENGINTEGRASIKAN KONSEP SUSTAINABILITY KE DALAM BALANCED SCORECARD

Berikut adalah metode yang dapat diterapkan dalam mengintegrasikan konsep keberlanjutan ke dalam core business perusahaan (Jane B. Butler et all, 2011):
1.      Menambahkan perspektif ke-5 ke dalam Balanced Scorecard.
Menambah perspektif tambahan ke dalam BSC mungkin adalah cara termudah yang dilakukan perusahaan bila ingin menekankan keberlanjutan/sustainability sebagai kunci nilai perusahaan atau strategi yang kritikal. Perspektif keberlanjutan terdiri atas indicator kinerja sosial dan lingkungan yang berkaitan dengan keempat perspektif BSC dan menyoroti pentingnya tanggung jawab sosial, lingkungan dan ekonomi sebagai tujuan perusahaan.
2.      Mengembangkan pelaporan balanced scorecard secara terpisah (jadi muncul 2 pelaporan, ada Balanced Scorecard/BSC dan Sustainability Balanced Scorecard/SBSC).
Pendekatan yang ke-2 ini ingin menggabungkan pengukuran sustainability ke dalam BSC yang didesain dan diimplementasikan secara terpisah dalam sebuah laporan Sustainability Balanced Scorecard. Pendekatan ini mudah diterapkan pada banyak perusahaan, seperti perusahaan yang sebelumnya belum menerapkan BSC tetapi ingin mengukur atau mengintegrasikan sustainability tanpa gangguan atau pembebanan biaya yang besar akibat mengadopsi BSC secara penuh. Selain itu SBSC mungkin juga cocok untuk perusahaan yang telah menjalankan BSC sebelumnya, tetapi tidak ingin mengubah/merevisi susunan orisinal dari BSC.
3.      Mengintegrasikan penghitungan ke seluruh 4 perspektif balanced scorecard.
Idealnya, pengukuran sustainability/keberlanjutan ini seharusnya diterapkan pada kegiatan operasional perusahaan sehari-hari dan mengintegrasikannya ke dalam BSC tradisional, dalam pencapaian tujuan perusahaan. Integrasi sustainability ke dalam BSC mengindikasikan bahwa manajemen mengakui adanya hubungan sebab-akibat antara strategi perusahaan dan usaha keberlanjutan. Sehingga manajemen harus berusaha untuk mencapai tujuan keberlanjutan perusahaan dan  mengerti bagaimana proses keberlanjutan akan memberikan pengaruh terhadap berhasil atau gagalnya kesuksesan sebuah organisasi.

Di sisi lain dalam artikel yang dikemukakan oleh Howard Rohm selaku Presiden and CEO Balanced Scorecard tahun 2000, konsep keberlanjutan/sustainability ini secara langsung dapat diterapkan ke dalam keempat perspektif balanced scorecard sebagai berikut:
1.      Dari sudut pandang finansial/keuangan, sustainability berarti bertahan dalam kegiatan bisnis, dan menciptakan acceptable return bagi investor.
2.      Dari sudut pandang konsumen dan pemangku kepentingan, sustainability berarti memuaskan dan menyediakan nilai dalam peningkatan jumlah keamanan dan sustainability-concious consumers.
3.      Dari sudut pandang proses bisnis, sustainability berarti mengatur bahan baku, energi, dan limbah melalui cara yang eco-efficient semaksimal mungkin yang dapat diusahakan.
4.      Dari sudut pandang kemampuan perusahaan (pertumbuhan dan pembelajaran), sustainability berarti mencipatakan budaya dengan nilai-nilai berkelanjutan, dimana tercermin dalam setiap pilihan yang diambil karyawan-karyawan setiap harinya.

G.     PENGUKURAN SUSTAINABILITY DALAM BALANCED SCORECARD

Dalam BSC yang tradisional, di mana keempat perspektif hanya diukur seperti yang terdapat pada Bab 2 poin D, maka dengan terintegrasinya proses keberlanjutan dalam balanced scorecard akan memberikan efek yang signifikan dengan adanya pengukuran tambahan dalam kaitannya pada kegiatan sosial dan lingkungan yang dilakukan perusahaan. Berikut adalah salah satu contoh pengembangan pengukuran indikator dalam Sustainability Balanced Scorecard:

Misi:
Membangun dan menyediakan produk yang membuat kehidupan konsumen lebih mudah dan mengurangi bahaya pada lingkungan
Visi:
Untuk memajukan industri dalam inovasi yang berkelanjutan dan meningkatkan nilai konsumen

Setiap tujuan strategi didukung oleh satu atau lebih pengukuran. Seperti yang terlihat dalam gambar di atas, perusahaan telah merancang dampak siklus akibat kegiatan perusahaan, memasang target untuk mengurangi dampak tersebut, dan mengidentifikasikan inisiatif-inisiatif untuk mencapai hasil pengurangan dampak tersebut.

C. Kesimpulan

Untuk mengimbangi dinamika dunia bisnis dan tetap survive di dalam operasi komersialnya, maka pengukuran kinerja perusahaan dan evaluasinya tidak dapat terbatas hanya pada aspek finansial saja, namun juga harus lebih komprehensif dan berimbang. Di samping itu, strategi inti perusahaan juga tidak dapat hanya berbicara profit dari angka laporan keuangan semata saja, tetapi juga melibatkan aspek-aspek lain yang saling berhubungan satu sama lain sehingga membentuk keunggulan kompetitif dalam persaingan. Hal inilah yang mendorong terciptanya implementasi balanced scorecard dalam perusahaan dan diselaraskan dengan tujuan utama organisasi. Selain itu, perusahaan saat ini juga semakin sadar bahwa dalam membangun bisnisnya, diperlukan langkah-langkah dan mindset keberlanjutan supaya terdapat legacy yang kuat dan besar ke generasi selanjutnya, apalagi juga concern terhadap hal-hal dimensi sustainabilitas juga semakin tinggi. Oleh karena itu, basis strategi perusahaan dan pengukuran kinerjanya sudah mengarah kepada konsep sustainability balanced scorecard, yang merupakan generasi terbaru dari BSC. Hal ini juga sudah banyak diterapkan baik oleh perusahaan multinasional dan juga perusahaan lokal di Indonesia. Dengan sustainability BSC, diharapkan akan tercipta iklim operasional perusahaan yang berorientasi kesejahteraan secara menyeluruh, baik untuk perusahaan dan juga untuk lingkungan serta society dan kesejahteraan terus juga tidak hanya berarti memiliki profit tinggi, namun juga memiliki strong core business process, continued learning and growth dan juga inovasi tiada henti di setiap fungsi bisnis. Salam

D. Daftar Pustaka

Barbara Gunawan, “Balanced Scorecard: Perspektif Baru Dalam Menilai Kinerja Organisasi.”, Utilitas, No.10, Tahun ke-8, 2000

Halim, Abdul, Achmad Tjahjono, dan Muh. Fakhri Husein. 2009. Sistem Pengendalian Manajemen. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN

Janet B. Butler, et all. 2010. Sustainability and The Balanced Scorecard: Integrating Green Measures into Business Reporting. Management Accouting Quartely, Winter, 2011

Sapardianto. 2013. Analisis Pengukuran Kinerja Perusahaan dengan Konsep Balanced Scorecard (Studi Kasus pada PT Trustco Insan Mandiri Samarinda). eJournal Administrasi Bisnis, 2013, 1 (2): 94-103

Howard Rohm and Montgomery. 2000. Link Sustainability to Corporate Strategy Using The Balanced Scorecard. Balanced Scorecard Institute (www.balancedscorecard.org)

Professor Doug Cerf, Donald Bren.2007. Sustainability Balanced Scorecard. Environmental Accounting &Financial Management (ESM 284), Spring 2007

Oemar, Abrar. 2010. Balanced Scorecard sebagai Alat Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik. Fakultas Ekonomi Universitas Pandanaran

Johannes. 2009. Balanced Scorecard Konsep dan Implementasi: sebagai Strategi Perusahaan.

----- sekian -----

Senin, 21 Desember 2015

Perbedaan Revaluasi Aset Tetap Menurut Akuntansi dan Perpajakan

A. Pendahuluan

          Menyambung artikel tentang kajian PMK Nomor 191/PMK.010/2015 yang tertuang dalam Kajian PMK No 169 dan 191 Tahun 2015, maka artikel ini akan memaparkan perbedaan revaluasi aset tetap berdasarkan peraturan perpajakan, dalam hal ini PMK No 191 dan peraturan akuntansi, dalam hal ini PSAK No 16 dan 25. Ruang lingkup pembahasan difokuskan bukan kepada teorinya, karena pasal-pasal atau aturan spesifik dari peraturan ini dapat dipelajari langsung dalam PMK/ PSAK terkait. Fokusnya lebih kepada aplikasi dan point-point penting perbedaan sampai kepada dampaknya masing-masing terhadap pelaporan perpajakan dan akuntansi. Sampai penghujung tahun 2015 ini, perbedaan ini juga banyak diperdebatkan oleh banyak pihak terkait pengakuan, pengukuran dan penyajian revaluasi di laporan keuangan dan laporan perpajakan.

          Meninjau perkembangan saat ini, tidak ada adjustment resmi terhadap kedua aturan ini sehingga perlakuan revaluasi aset tetap menurut perpajakan dan komersial pasti tetap mengandung beberapa perbedaan yang substansial. Di satu sisi, PMK No 191 mengakomodasi target penerimaan pajak tahun 2015 dan untuk lebih mendorong roda perekonomian nasional secara masif, sedangkan di sisi lain, PSAK 16 memberikan pilihan measurement model after recognition (pengukuran setelah pengakuan), dimana salah satunya adalah model revaluasi dengan latar belakang untuk memberikan informasi pelaporan keuangan yang lebih relevan dan useful bagi decision-making. Artinya, sudah terdapat 2 (dua) aturan yang berbeda dengan latar belakang yang berbeda pula. PMK No 191 merupakan pengembangan dari PMK Nomor 79/PMK.03/2008 dan dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, sedangkan PSAK 16 adalah standar akuntansi keuangan resmi di Indonesia yang menggunakan IAS 16 - Property, Plant and Equipment sebagai acuan utama dan dikeluarkan oleh DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) Ikatan Akuntan Indonesia.

B. Pembahasan

          Dari 2 (dua) standar tersebut, paling tidak terdapat 8 (delapan) perbedaan signifikan sebagai berikut:


          Mulai dari perbedaan No. 1, revaluasi perpajakan mengizinkan revaluasi secara cherry picking, sedangkan komersial melarang revaluasi secara selektif. Secara komersial, revaluasi harus dilakukan minimal 'per kelompok aset. Definisi kelompok aset adalah aset yang memiliki nature dan kegunaan yang serupa, misalnya tanah, peralatan pabrik, kendaraan dan seterusnya. Misalnya terdapat 8 tanah dalam klasifikasi aset tanah dalam sebuah perusahaan, maka secara fiskal, diizinkan hanya merevaluasi 3 tanah saja, sedangkan komersial harus seluruhnya. Apakah kedua hal ini harus disamakan? Tidak perlu dan tidak bisa. Jadi, kesimpulannya aset apa saja yang akan direvaluasi dapat berbeda sehingga menimbulkan nilai aset dan depresiasi yang berbeda juga antara fiskal dan komersial.

          Perbedaan No. 2, secara fiskal mengharuskan periode revaluasi ulang, yaitu 5 tahunan, sedangkan komersial lebih diserahkan kepada judgement terkait materialitas. Jika hasil nilai wajar berbeda secara material, maka baru direvaluasi ulang, jika tidak, maka tidak perlu. Berapa tingkat materialitasnya? Lihat definisi materialitas saja di PSAK No. 1 dan tentukan secara internal. Namun, jika anda bekerja di multinational company atau publicly listed entities, maka coba cari tahu matriks materialitas atau guidance materialitas lain. Tentunya, hal ini akan berbeda-beda di setiap perusahaan dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Jadi, sekali lagi nilai revaluasi di suatu tahun dapat berbeda antara komersial dan fiskal yang juga berdampak kepada pengukuran nilai aset tetap dan depresiasinya.

           Perbedaan No. 3 cukup jelas menurut tabel di atas. Langsung kepada perbedaan No. 4, maka setelah direvaluasi, masa manfaat menurut fiskal akan kembali lagi ke mas manfaat penuh sesuai dengan kelompok aset tetapnya (sesuai dengan Kelompok Aset Tetap - Perpajakan), sedangkan akuntansi berlaku prospektif, jadi didepresiasi berdasarkan sisa umur manfaatnya saja. Jadi, akan ada perbedaan nilai depresiasi 'per bulan dan 'per tahun serta akan menghasilkan konsekuensi pajak tangguhan (deferred tax).

          Perbedaan No. 5 dan 6 juga cukup jelas menurut tabel di atas. Namun khusus untuk No. 6 memang terlihat ketentuan fiskal agak out-scope, dimana sudah mengatur tentang nama akun penyajian laporan keuangan, padahal surplus ini dalam neraca komersial. Selain itu, pengaturannya harus memasukkan term "aktiva", padahal menurut komersial sudah konsisten menggunakan term sesuai IFRS, yaitu "aset". Pertanyaan yang mungkin timbul adalah apakah tidak ada yang dinamakan neraca fiskal? Hal ini pernah saya singgung secara singkat di Kajian PMK No. 169 dan 191 Tahun 2015, jadi memang objek pengenaan pajak pada umumnya untuk perusahaan berada pada komponen laporan laba-rugi, namun dalam kasus rekonsiliasi fiskal, terdapat metode balance sheet approach untuk menilai perbedaan temporer antara komersial dan fiskal (diatur dalam PSAK No. 46) sehingga ada juga yang dinamakan neraca fiskal. Namun, tentu neraca ini tidak dilaporkan secara resmi dimanapun karena dari sisi perpajakan sendiri juga kita selalu melaporkan neraca versi komersial. Dan tentu juga kita tidak dapat memaksakan agar neraca fiskal ini "balance" karena angkanya tidak selalu terbentuk atas jurnal akuntansi yang normal, apalagi laba-rugi fiskal juga sudah merupakan hasil koreksi sesuai ketentuan perpajakan. Mengenai perbedaan No. 7 tentang defisit revaluasi juga sudah cukup jelas.

            Perbedaan yang sangat menarik adalah point No. 8 tentang kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aset tetap (surplus revaluasi) menjadi saham bonus. Secara sederhana, saham bonus dapat diartikan sebagai tambahan pencatatan atas modal tanpa penyetoran baru. Hal ini merupakan objek pajak menurut UU PPh No. 36 tahun 2008 pasal 4, namun tarifnya berbeda-beda tergantung penerima saham bonus tersebut, dimana untuk OP dikenakan PPh 4(2) final sebesar 10% dan untuk Badan dikenakan PPh 23 sebesar 15% (dengan catatan berlaku untuk WP dalam negeri, hal ini juga sedikit dibahas dalam Kajian PMK No. 169 dan 191 tahun 2015). Khusus untuk PMK ini, kapitalisasi yang berasal dari surplus tersebut dianggap bukan sebagai objek pajak, jadi pengenaan PPh nya dibebaskan. Tentu jika kita berbicara surplus revaluasi, exposure 10% atau 15% bisa jadi sangat besar sehingga insentif ini sangat "menggiurkan".

          Setelah dibahas 'per point perbedaan di atas, masalah real akan dihadapi oleh perusahaan akibat perbedaan substansial tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

  • Depreciable amount antara komersial dan fiskal berbeda, jika secara fiskal tidak direvaluasi, namun secara komersial direvaluasi. Hal ini akan menimbulkan beda tetap (permanent difference) dalam rekonsiliasi fiskal dan perusahaan harus maintain sistem pencatatan aset terpisah menjadi 2 (dua)
  • Estimasi masa manfaat antara komersial dan fiskal berbeda. Hal ini akan menimbulkan beda waktu (temporary difference) dalam rekonsiliasi fiskal dengan catatan tidak ada perbedaan depreciable amount. Dengan kata lain, ada unsur pajak tangguhan
  • Klasifikasi komponen ekuitas akan berbeda, dimana komersial mengakui dan menyesuaikan OCI secara kontinyu, sedangkan fiskal dapat diklasifikasikan sebagai saham bonus. Dampaknya, jika dinotarikan secara legal, maka posisi ekuitas komersial akan berbeda dengan dokumentasi legal dan berujung kepada ketidaksesuaian dengan standar akuntansi
  • Tidak semua aset yang direvaluasi secara fiskal akan dipertahankan perusahaan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun ke depan dengan mempertimbangkan dinamika dunia bisnis dan strategic action plan masing-masing perusahaan. Namun, jika dijual akan dikenakan tambahan PPh final dengan tarif PPh tertinggi, yaitu 25% untuk Badan dan 30% untuk OP
          Solusi yang dapat dikembangkan atau alternatif yang dapat dipertimbangkan terhadap masalah di atas adalah:
  • Pertimbangkan untuk menyusutkan minimal 'per kelompok aset agar tidak ada perbedaan jenis aset yang direvaluasi antara komersial dan fiskal. Jangan semata-mata memilih semua aset spesifik yang kira-kira memiliki hasil surplus. Jika memang terjadi defisit revaluasi, namun masih tolerable, maka lebih baik tetap direvaluasi semua aset dalam kelompok terkait untuk menghilangkan risiko point 1 di atas
  • Review estimasi masa manfaat secara akuntansi. Hal ini merupakan bagian dari estimasi akuntansi yang diatur dalam PSAK No. 25 (2009). Jika memungkinkan, maka estimasi masa manfaat akan sama dengan masa manfaat awal fiskal sehingga tidak ada perbedaan penyusutan setiap bulan dan tahunnya. Misalkan suatu aset memiliki masa manfaat awal 8 tahun dan sudah disusutkan selama 3 tahun, baik secara komersial maupun fiskal. Setelah itu, aset direvaluasi, maka secara fiskal akan kembali menjadi 8 tahun, sedangkan akuntansi karena berlaku prospektif, maka akan disusutkan selama 5 tahun saja. Saat itu, direview apakah masa manfaat yang tepat masih tersisa 8 tahun lagi sehingga secara akuntansi seharusnya dari awal ditetapkan 11 tahun (3 tahun yang sudah disusutkan + 5 tahun sisa umur + 3 tahun estimasi tambahan baru). Jika berhasil, maka akan menghilangkan risiko point 2 di atas
  • Tidak ada "jembatan tengah" untuk risiko point 3. Satu-satunya cara adalah jangan sampai dikapitalisasi menjadi saham bonus, apalagi dinotarikan secara legal karena hal ini malah akan menimbulkan ketidaksesuaian signifikan dengan standar akuntansi dan dapat menimbulkan risiko salah saji material. Jadi, perusahaan "stop" pada optimalisasi manfaat penambahan ekuitas saja yang akan berdampak pada membaiknya DER dan insentif tarif pajak atas revaluasi, jangan dilanjutkan ke saham bonus
  • Perusahaan harus mengkaji apakah terdapat aset yang memenuhi PSAK 58 (lihat slide di PSAK 58 - Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual). Jika memenuhi, maka lakukan reklasifikasi aset terkait ke dalam current assets, bukan sebagai aset tetap lagi karena manfaat ekonominya akan dipulihkan melalui penjualan dibandingkan pemakaian berlanjut, artinya sudah tidak memenuhi ketentuan aset tetap dan tidak perlu direvaluasi secara komersial dan fiskal sehingga menghilangkan risiko point 4 di atas
          Berikut akan disajikan perlakuan akuntansi dalam bentuk ilustrasi kasus, termasuk dengan journal entriesnya. Untuk fiskal, tinggal pembaca sesuaikan dengan perbedaan-perbedaan di atas. Ilustrasi ini juga tidak melanjutkan dampaknya sampai ke pajak tangguhan karena hal tersebut akan dibahas pada tulisan saya yang lain.

















































C.Kesimpulan

          Jadi, cara mengutilisasi advantage dari PMK No. 191 adalah dengan melakukan revaluasi secara perpajakan dan mengkapitalisasikan hasil surplus revaluasinya menjadi saham bonus. Hal ini akan "menghemat" pajak, pertama sebesar 7% (asumsi perusahaan mengajukan permohonan s.d tanggal 31 Desember 2015 dan dikenakan tarif 3%), lalu mendapatkan ekuitas untuk memperbaiki DER, kemudian mendapatkan tambahan saham tanpa penyetoran kembali yang seharusnya dikenakan pajak minimal 10%. Selain itu, surplus tersebut juga adalah komponen OCI menurut komersial sehingga tidak termasuk dalam perhitungan laba tahun yang bersangkutan, artinya tidak ada exposure penambahan 25% PPh Badan atas surplus yang bersangkutan. Memang kelemahannya adalah peningkatan beban depresiasi di tahun-tahun berikutnya, tapi efeknya sama dengan "mencicil" sehingga untuk kasus ini disimpulkan benefit akan lebih besar dibandingkan future depreciation cost.
  
          Permasalahan untuk mendapatkan semua advantage di paragraf di atas timbul karena terdapat perbedaan dengan standar akuntansi yang berlaku, dalam hal ini yang terkait adalah PSAK No. 16, 25, 46 dan 58, namun yang terutama adalah PSAK No. 16 (2011) yang mengacu kepada IAS 16 - Property, Plant and Equipments. Perbedaan tersebut membuat perusahaan secara tidak langsung akan "menabrak" ketentuan komersial jika dipaksakan mendapatkan semua advantage tersebut. Jadi, tergantung keputusan strategic perusahaan ingin mengambil "jalan tengah" seperti apa. Saya sudah menyajikan paling tidak things to be considered sebagai solusi alternatif di bagian pembahasan di atas. Salam


----- sekian -----